Saturday, June 29, 2013

Pulpen Minggu I

Kemarin aku ingat lagi (Safina)
Tentang kita yang tak mungkin (Nadnaf)
Walau semua tak harus dipungkiri (Stella)
Bahwa aku masih ingin hadirmu disini (Luthfi)
Kutapaki jejakmu ditelan sepi (Frida)
Saat aku bilang ‘ya’, dan kamu teriak ‘tidak’ (Kia)

Satu Yang Bukan Satu

Dia tampak terkoyak. Butir – butir air mata jatuh menenggelamkan topeng kebanggaannya. Dilihatnya lagi badan yang terbujur lemas di hadapannya menatap kosong dengan kedua bola mata hitam pekat. Tubuh itu membiru dan kaku.  Aku tertawa.  Aku merasa menang sedangkan dia sudah pasti menelan kekalahan dan merayakannya dengan tangis yang masih tergenang. “Ini semua gara-gara kau! Kalau saja kau tak hadir di sini, anak ini pasti masih akan- akan-“, kembali ia menangis. Dasar manusia cengeng! Bermental lemah! Ingin kumuntahkan kata-kata itu, tapi ya sudahlah aku masih merayakan euphoria kejayaanku atas kejadian ini, perkataan dia tak mampu usik kegembiraanku.

Sekarang mataku menari-nari melihat situasi. Aku perhatikan lagi raga anak lelaki ingusan yang tidak sampai satu jam lalu masih berkoar-koar tidak berguna. Bocah pengganggu itu sudah mati, udara di sekitar sini sudah tidak kotor lagi. “Sudahlah teman, mari kita rayakan pagi yang damai ini. Selama ini kau tak menyadari betapa indahnya kawasan ini kan? Tentu tidak kawan, setiap hari kau hanya mendengar hardikan anak ini bukan? Yah untunglah, karna sekarang mulutnya yang lucu ini tak dapat lagi menyusun hardikan – hardikan itu padamu! ” aku tertawa kencang ; dia menangis, “Shh.. coba dengar suara burung gereja yang lebih riang dari sebelumnya atau suara angin yang lembut itu pasti terdengar olehmu.” Dia masih menangis meraung – raung seperti anak manja. Aku sudah tidak tahan lagi. “Sialan! Kau pikir aku berbicara dengan kotoran hah! Dengarkan aku baik baik! Lebih baik kau syukuri kematiannya karna menangis sekarang pun tidak akan mengubah posisimu atau posisinya. Cepat kau kubur dia! “ “Berisik! Seenaknya kau bicara begitu. Padahal semua ini adalah kesalahanmu! Aku tak pernah menginginkan kematian anak ini. Aku tak bersalah dan ini bukan air mata rasa bersalah melainkan rasa rindu yang teramat sangat” dia menangis kembali sambil memeluk tubuh si bocah yang  mulai membiru. “Aku memang menganggapmu bodoh, tapi tak kusangka kau sebodoh ini.” Kulepaskan tubuh anak itu dari pelukannya, “Lancang! Apa yang kau lakukan!” dia terus meronta-ronta. “Aku yang paling tau dirimu! Saat ini sebetulnya kau juga bersenang-senang bukan?” “Tidak!”, dia menutup kupingnya namun percuma, dia masih bisa mendengarku. “Ya, aku tahu itu saat kedua tanganmu mencekik girang leher anak itu. Perasaan penuh yang meluap – luap. Kau tahu kenapa? Karena kita mempunyai tangan yang sama, jantung, jemari dan tubuh yang sama. Apa yang kau rasakan pun kurasakan. Kau hanya malu, aku yang mendorongmu.” Kuusap rambutnya, rambutku, rambut yang ada pada raga yang sama. “Namun selalu begini. Selalu aku yang kau kambing hitamkan. Selalu dan selalu. Saat kau beri aku tatapan yang amat keji. Saat aku berkata ya, dan kau berkata tidak.”


1 comment:

  1. cerpen kamu bikin aku jadi parno, jangan2 diriku mau membunuhku juga huft.

    ReplyDelete